Festival Tulip di Lembah Skagit

bunga tulip Kebanyakan kita di Indonesia mengenal tulip sebagai bunga dari Belanda. Begitu lekatnya tulip dengan Belanda, sampai-sampai orang tidak percaya bahwa sebetulnya tulip bukan asli Belanda, dan juga bahwa tulip tidak hanya ada di Belanda.

Tahun lalu saya berkunjung ke Masjid Rustem Pasha di dekat Spice Bazaar di Istanbul. Masjidnya kecil, tetapi ia merupakan salah satu permata arsitektur yang tidak dapat dilewatkan. Masjid ini dibangun oleh Mimar Sinan, seorang arsitek legendaris yang dipercaya merancang begitu banyak bangunan penting di masa Sultan Sulaeman Agung.

Rustem Pasha “hanyalah” orang kaya yang bukan bangsawan. Karena itu, ketika ia berniat membangun masjid, ia tidak dibolehkan membangun minaret (menara untuk mengumandangkan azan). Rustem kemudian mencari akal untuk menunjukkan bahwa kekayaannya tidak kalah dibanding para sultan.

Rustem kemudian memekerjakan para pekerja seni dari Iznik untuk membuat keramik khusus guna menutupi dinding dalam masjid. Salah satu desain keramik itu adalah gambar bunga tulip. Keramik itu sangat indah dan tidak ada tandingannya pada masa itu di seluruh Istanbul. Belum lama ini, satu keping keramik asli dari Masjid Rustem Pasha dilelang Sotheby’s dan mendapat harga 80.000 poundsterling.

Lho, mengapa ada gambar tulip di dinding masjid di Istanbul? Mengapa pula gambar tulip dapat ditemukan pada keramik di dinding Masjid Biru alias Masjid Sultan Ahmad di Istanbul?

Tulip sebenarnya adalah tumbuhan bunga asli dari Turki. Ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tulip sudah dibudidayakan di Turki sejak tahun 1000 Masehi, khususnya di daerah sekitar Laut Hitam. Setelah Sultan Mehmet Sang Penakluk merebut Turki pada pertengahan abad ke-15, bunga tulip mulai ditanam di halaman istana. Di istana itulah orang-orang Eropa mulai melihat keindahan tulip dan menganggapnya sebagai bunga yang bernilai tinggi.

Belanda baru mengenal tulip pada tahun 1593, setelah seorang botanis dari Austria diangkat sebagai gurubesar di Universitas Leiden. Botanis itu sebelumnya telah memiliki bibit tulip yang diperolehnya dari mantan dutabesar Austria di Turki yang diberi bibit tulip sebagai hadiah dari Sultan. Tulip di masa itu merupakan tanaman eksklusif yang hanya dimiliki secara terbatas oleh para pangeran di Eropa.

Pada abad ke-7, tulipmania mulai melanda Belanda. Berbagai varian tulip baru mulai bermunculan. Pada waktu itu bahkan ada sayembara berhadiah uang sangat besar bagi siapa pun yang mampu membudidayakan tulip berwarna hitam.

Berabad-abad kemudian, Belanda telah meninggalkan Turki jauh di belakang dalam soal tulip-menulip. Bunga tulip bahkan menjadi komoditi perdagangan penting di Belanda, sementara di Turki tetap menjadi bunga yang terbatas keberadaannya di kalangan ningrat.

Pada tahun 1949, untuk pertama kalinya diselenggarakan pameran tulip di Keukenhof di Negeri Belanda. Keukenhof semula adalah kebun tempat menanam bumbu-bumbu dapur untuk istana-istana kerajaan. Hingga kini, Keukenhof merupakan tempat yang paling terkenal di dunia untuk melihat bermacam-macam tulip.

Karena tulip hanya mekar pada awal musim semi, umurnya memang tidak panjang. Karena itu pula Keukenhof hanya buka selama kurang lebih 6-8 minggu – dari akhir Maret hingga awal Mei. Setiap tahun tanggalnya bergeser, tergantung pada kondisi musim dingin sebelumnya. Untuk tahun ini, misalnya, Keukenhof dibuka sejak 20 Maret hingga 18 Mei. Harga tiketnya cukup mahal, sekitar Rp 180 ribu. Jutaan wisatawan berkunjung ke Keukenhof setiap tahun.

Tetapi, Keukenhof ternyata bukan satu-satunya tempat untuk melihat berbagai macam tulip. Di Lembah Skagit, sekitar 100 kilometer di Utara Seattle, AS, sudah 25 tahun terakhir ini setiap tahunnya diselenggarakan festival tulip.

Dari namanya sudah dapat kita duga bahwa Lembah Skagit asalnya adalah hunian kaum Indian. Tanah aluvialnya subur, dan sejak 150 tahun terakhir dimanfaatkan sebagai perkebunan. Bunga mulai menjadi komoditi pertanian di lembah ini sejak 100 tahun yang lalu.

Pada awal tahun 1950-an, orang-orang Belanda perantauan mulai bermukim di Lembah Skagit. Mereka membawa sapi perah dan bibit tulip, serta membudidayakannya di kawasan itu. Sampai sekarang jejak-jejak orang Belanda masih dapat kita lihat dari nama-nama perkebunan tulip dan peternakan sapi di Lembah Skagit, seperti: Rozengaarde, De Goede, dan sebagainya.

Makin populernya Keukenhof di Negeri Belanda membuat para petani tulip di Lembah Skagit pun mulai menyelenggarakan festival tulip yang pertama pada tahun 1984. Berbeda dengan Keukenhof, di Lembah Skagit pengunjung tidak ditarik bayaran. Orang-orang bebas “mengembara” di kawasan seluas 750 hektare untuk mengunjungi kebun-kebun tulip individual. Para pemilik kebun pun berlomba-lomba membuat atraksi sendiri-sendiri untuk membuat wisatawan singgah ke kebun mereka.

Setiap hari bus-bus pariwisata dan mobil-mobil berdatangan ke Skagit. Dalam sebulan penyelenggaraan, sekitar sejuta orang datang berkunjung ke Skagit, melihat hamparan kebun tulip dengan warna-warni mencolok. Selain tulip, juga banyak bunga daffodils ditanam di Skagit.

Cara lain untuk menikmati keindahan Skagit adalah naik pesawat terbang berkursi empat yang terbang rendah di atas kawasan kebun tulip. Bunga-bunga tulip aneka warna yang mekar bersamaan merupakan pemandangan yang luar biasa.

Menurut statistik, luas kebun tulip di Lembah Skagit kini bahkan sudah mengalahkan luas kebun tulip di Negeri Belanda. Nilai ekonomi dari perdagangan tulip dari Lembah Skagit ke pasar dunia pun kini semakin signifikan.

Para pengunjung festival tulip di Lembah Skagit biasanya juga berkunjung ke sebuah kota kecil La Conner, sekitar 5 kilometer dari pusat kebun tulip. Letaknya di pantai Pasifik membuat “desa” indah ini punya reputasi internasional. Pusat kotanya memiliki toko antik, galeri foto, galeri lukisan, butik, restoran, dan hotel berstandar internasional.

Selama bertahun-tahun dulu saya melanggani sebuah restoran yang sangat terkenal dengan hidangan grilled salmon-nya. Sengaja dibuat alat pemanggang di depan restoran, dengan dua koki yang terus-menerus memanggang salmon. Aromanya yang mengembang ke mana-mana membuat orang semakin ingin datang untuk makan di sana.

Nama restoran itu adalah “The Lighthouse”. Tetapi, ketika minggu lalu saya datang ke sana, ternyata restoran itu sudah berganti nama menjadi “Palmers”. Tidak ada lagi panggangan salmon di depan restoran. Tidak ada lagi antrean panjang orang-orang yang ingin makan di sana. “The Lighthouse” ternyata telah menjadi sejarah. Anehnya, dalam buku panduan La Conner yang terbaru, nama “Palmers” bahkan tidak terdaftar.

Saya pun urung masuk ke “Palmers”. Di ujung jalan saya lihat antrean cukup panjang. Ternyata, orang antre di depan “Calico Cupboard Cafe and Bakery”. “Calico” memang sudah lama di sana dan hampir selalu memenangi penghargaan tertinggi untuk kualitas pastry dan kue-kue. Pastry juara di “Calico” adalah cinnamon roll. Pastry serupa punya “Cinnabon” yang sudah buka waralaba internasional pun lewat, dah! Berbagai sandwich dari “Calico” juga membuatnya diantre orang.

Ribuan wisatawan yang setiap hari datang ke La Conner setelah berkunjung ke festival tulip, dengan mudah dilayani oleh puluhan restoran di sana. Setidaknya, ada enam restoran fine-dining di kota sekecil itu. Sebuah kota yang tampaknya seratus persen dihidupi oleh pariwisata. Pendapatan rata-rata penduduk La Conner adalah US$45.000 per tahun.

Kembali ke urusan tulip, sekarang, Istanbul pun setiap tahun menyelenggarakan Tulip Festival. Di seluruh kota, khususnya di pinggir-pinggir jalan, bunga-bunga tulip bermekaran dengan indahnya. Turki agaknya ingin mengejar ketertinggalannya dalam reputasi dunia di bidang tulip.
bondan winarno www.kompas.com

Category:  
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response.
0 Responses