B1 dan B2 merupakan istilah umum untuk menggambarkan daging anjing dan daging babi. Entah mengapa, para penjual dan pembeli daging haram tersebut enggan menyebutkan secara eksplisit sebagai anjing dan babi. Penyebutan kode tersebut sebenarnya sudah menggambarkan sumber daging yang digunakan. Tetapi mungkin ada juga konsumen muslim yang tidak tahu arti kode tersebut. Nah, jika itu terjadi, kita bisa menduga apa yang akan terjadi.
Kawasan Cililitan, Cawang dan UKI di jalan Letjen Soetoyo, Jakarta, merupakan kawasan yang cukup ramai. Sebagai salah satu pintu gerbang Jakarta di bagian selatan, banyak warga pendatang yang masuk Jakarta melalui kawasan ini. Hal itu juga ditandai dengan banyaknya agen bus antar kota antar propinsi yang menjual tiket ke berbagai tujuan, baik di Jawa maupun luar Jawa. Kawasan tersebut juga merupakan arus pertemuan antara jalur Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, Bandung) dan Jawa Tengah-Jawa Timur melalui jalan tol Jagorawi dan jalan tol Cikampek. Tak heran jika di tempat itu selalu ramai manusia yang lalu lalang, datang dan pergi silih berganti serta bertukar kendaraan dari bus antar kota dengan metro mini atau mikrolet dan sebaliknya.
Sebagai konsekuensi ramainya kawasan tersebut, para pedagang pun sibuk dengan dagangannya masing-masing, yang mengharap rizki dari orang-orang yang lalu lalang tersebut. Ada yang jualan berbagai makanan, minuman, buah-buahan, barang-barang kebutuhan sehari-hari hingga kaset dan CD. Merekapun terlihat ramai pengunjung. Tetapi bagi Anda yang lewat dan berjalan kaki di tempat tersebut harap hati-hati, karena selain pedagang, tukang ojek dan calo, ada juga para pencopet yang siap merogoh kantung siapa saja yang lengah. Apa yang ingin kami sampaikan bukan saja bahaya copet yang selalu mengintip dan menunggu kita lengah, tetapi juga penjual makanan dan minuman haram. Bukan rahasia lagi kalau di kawasan tersebut banyak warung dan tempat makan yang menjual menu babi dengan berbagai variasinya.
Ada yang secara terus terang menyebutkan menu babinya, ada pula yang masih malu-malu menyebutnya dengan berbagai kode. Terdapat beberapa warung yang menuliskan menu babinya, seperti ‘sate babi’ dan ‘babi panggang’ dengan tulisan yang jelas dan mudah dibaca. Dengan penulisan tulisan tersebut tentu saja sangat memudahkan bagi para pengguna dan konsumen yang memang mencari menu tersebut, disamping juga memudahkan konsumen muslim untuk menghindarinya dengan mudah pula. Di samping itu ada pula beberapa warung yang menggunakan kode-kode dalam menunjukkan menu yang ditawarkannya. Sebut saja rumah makan Horas, Pardede, Tao Hutagaol dan Betlehem, menuliskan menu-menu berkode B1 dan B2 di depan warung mereka.
Sebenarnya dari nama-nama rumah makan tersebut orang sudah bisa menduga apa sebenarnya menu yang dihidangkannya. Tidak ada salahnya ketika mereka menjual menu babi ataupun anjing yang menurut keyakinan mereka dan konsumen khususnya tidak bermasalah. Pertanyaannya adalah, mengapa harus digunakan kode-kode tersebut? Ketika sebuah warung menjual ayam goreng, maka dengan tulisan ‘ayam goreng’ secara besar-besar di depan warungnya, dengan mudah akan terbaca tanpa penafsiran lain oleh semua konsumennya.
Demikian juga dengan sop kaki sapi, sate kambing, mie ayam dan sebagainya. Mengapa untuk yang dua jenis ini harus menggunakan kode khusus? Penggunaan kode ini tentu saja mengundang penafsiran dan memerlukan pengetahuan khusus untuk menelaah dan mengetahuinya. Kebanyakan orang memang sudah maklum dan tahu bahwa B1 dan B2 itu adalah babi dan anjing. Tetapi dalam kenyataannya masih ada juga masyarakat yang tidak mengerti maksud di balik kode tersebut. Apalagi bagi konsumen yang baru tiba dari daerah, baik dari Jawa maupun luar Jawa yang kenyataannya cukup banyak terdapat di kawasan ini.
Di sebuah warung, masih di kawasan yang sama, Jurnal Halal juga menemukan adanya ‘Warteg’ yang menjual B1 dan B2. Penggunaan istilah ‘Warteg’ ini berkonotasi pada warung makan yang dikelola oleh masyarakat yang berasal dari Tegal, sebuah kota di Jawa Tengah. Selama ini Warteg dikenal luas oleh masyarakat sebagai warung makan yang menjual menu-menu halal, atau setidaknya tidak ada unsur babi dan minuman keras. Penggunaan istilah ‘Warteg’ dalam konteks sebagai warung yang menjual anjing dan babi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan bagi konsumen muslim. Mereka bisa saja beranggapan bahwa warung itu sama dengan warteg-warteg lain yang biasa dijumpai di Jakarta dan di tempat-tempat lain.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut, aturan main mengenai warung makan memang harus segera dibenahi, khususnya yang menyangkut penjualan menu-menu haram bagi umat Islam. Penggunaan istilah ‘warteg’ serta kode B1 dan B2 perlu diluruskan oleh berbagai pihak yang berwenang, agar tidak menimbulkan kerancuan pada masyarakat awam. Bagi konsumen muslim, hal ini menjadi pelajaran berharga agar kita lebih waspada dalam memilih menu masakan yang ditawarkan rumah makan. Ketika kita harus makan di luar, maka semua menu, baik yang halal maupun yang haram, siap mengintai kita. Meskipun di tempat yang kelihatannya tidak rawan. Kalau menjumpai istilah-istilah yang aneh atau daging yang mencurigakan, sebaiknya jangan segan untuk menanyakannya.