Oleh: DR.Anton Apriyantono
Pada proses deboning (penghilangan tulang dari daging) masih cukup banyak daging yang menjadi limbah, demikian juga dari hasil pemotongan daging, seringkali masih tersisa daging yang masih dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Telah dilaporkan bahwa daging sisa tersebut dapat difraksinasi menjadi isolat-isolat protein seperti salt soluble protein (SSP), insoluble myofibrillar protein (IMP) dan connective tissue protein (CTP) yang masing-masing mempunyai sifat fungsional tertentu yang telah digunakan pada pembuatan sosis. Isolat protein tersebut dapat pula berasal dari mince pork (daging babi giling). Di samping itu, daging sisa ini dapat dibuat menjadi ekstrak daging (meat extract) yang dapat digunakan untuk pembuatan perisa (flavor) daging.
Sayangnya, penulis belum mengetahui dengan pasti apakah ekstrak daging ini telah dipasarkan secara komersil dan digunakan dalam pengolahan pangan. Walaupun demikian, tidak tertutp kemungkinan bahwa di masa datang produk tersebut menjadi bagian dari makanan olahan yang kita konsumsi sehari-hari.
Ada pula yang disebut dengan meat protein concentrate (konsentrat protein daging) yang dibuat dari daging sisa. Selain itu ada pula protein hidrolisat yang dibuat dari kepala ayam dan digunakan untuk ingredien sosis, suplemen pada sup, minuman dan produk bakery. Di Jerman telah dibuat hidrolisat protein kolagen (biasanya dari tulang) yang digunakan pada pate, spread dan ready meals.
Beberapa Produk yang Mengandung Lemak Hewani atau Turunan Lemak Hewani
Pada produk-produk pangan dengan sistem emulsi (di samping bahan-bahan lain, mengandung campuran minyak atau lemak dengan air) sangat besar kemungkinan ditemui adanya pengemulsi (emulsifier) karena sangat dibutuhkan untuk menstabilkan sistem emulsinya. Contoh produk ini yaitu margarin, spread, es krim, desserts beku, cake, pudding, dll. Pada margarin sering digunakan pengemulsi monogliserida, digliserida yang dapat berasal dari lemak hewani, akan tetapi akhir-akhir ini banyak pula yang menggunakan pengemulsi lesitin yang berasal dari kacang kedele. Pada produk spread dapat mengandung gelatin dan monogliserida.
Shortening adalah campuran berbagai jenis minyak dan lemak yang digunakan untuk melembutkan produk bakery, cake dan dry mix. Bahan dasar pembuatan shortening yaitu minyak nabati, lemak hewani (lemak babi dan lemak sapi) dan minyak ikan. Dengan demikian shortening sangat rawan dipandang dari segi kehalalannya. Akan tetapi, bersyukur kita sekarang karena sudah ada shortening yang dibuat dari bahan dasar minyak kelapa sawit saja yang di pasaran dikenal dengan mentega putih. Walaupun demikian, dapat dibayangkan betapa rawannya kehalalan produk-produk pangan yang masuk ke Indonesia, padahal secara fisik dan analisis laboratorium sangat sulit mengenali adanya lemak-lemak hewani atau turunannya tersebut.
Yang paling menyulitkan dalam penentuan halal tidaknya suatu produk ialah apabila produk yang bersangkutan mengandung bahan aditif yang dapat berasal dari hewan, sebagai contoh adalah pengemulsi. Pengemulsi yang sering digunakan di antaranya ialah turunan trigliserida, asam lemak dan gliserol, baik dalam bentuk monogliserida, digliserida, garam asam lemak, dll. Trigliserida, asam lemak dan gliserol dapat berasal dari lemak hewani, dalam hal ini yang paling banyak di negara Barat ialah lemak babi. Akan tetapi, gliserol dapat berasal dari hasil samping pembuatan sabun (masih belum dapat dijamin halal karena bahan dasarnya juga berasal dari lemak dan dapat berasal dari lemak hewani), pembuatan lilin, dan hasil sintesis dari bahan dasar minyak bumi. Di samping itu, asam lemak pun dapat dihasilkan dari sintesis kimia.
Masalahnya, bagaimana mengenali asam lemak atau gliserol yang berasal dari hewani dan yang berasal dari hasil sintesis kimia. Apalagi jika asam lemak atau gliserol tersebut telah direaksikan lagi dengan senyawa lain membentuk senyawa baru. Sebagai contoh, monostearin adalah monogliserida yang dapat dihasilkan dari reaksi antara gliserol dengan asam stearat (anggap keduanya hasil sintetis kimia), akan tetapi dapat pula berasal dari hidrolisis trilgiserida lemak hewani. Bagaimana membedakan asal keduanya, tentu saja tidak mudah, secara fisik jelas tidak bisa sama sekali.
Melalui analisis laboratorium mungkin masih dapat membedakannya pada tingkat tertentu, misalnya dengan mendeteksi adanya isotop 14C, atau rasio isotop 13C dengan 12C. Hal ini dapat dilakukan karena gliserol hasil sintesis kimia berasal dari minyak bumi yang mempunyai komposisi isotop karbon yang berbeda dengan yang terdapatpada hewan. Walaupun demikian, jelas hal ini memerlukan peralatan canggih dan keahlian tinggi, apakah Indonesia telah memiliki alat dan keahlian yang diperlukan? Dalam beberapa hal mungkin dapat dilakukan di Indonesia, tetapi jelas memerlukan waktu, biaya dan usaha yang besar. Itu baru satu kasus saja, yang masih mungkin dipecahkan melalui analisis laboratorium.
Akan tetapi, apabila kita ingin membedakan yang mana yang berasal dari minyak nabati dan mana yang berasal dari lemak hewani, jelas hal ini akan sangat sulit sekali, bahkan bisa jadi tidak mungkin. Oleh karena itu, analisis laboratorium tidak dapat dijadikan andalan, hanya pelengkap pada kasus-kasus tertentu saja, sedangkan metode pemeriksaan halal yang sebaiknya akan dikemukakan pada seri tulisan ketiga yaitu mengenai sertifikasi.