Darah dikonsumsi dalam bentuk marus (di Jawa dikenal dengan sebutan dede). Darah sebagai bahan makanan yang sangat populer ini keharamannya sudah sangat nyata, sebagaimana ditegaskan dalam QS.2:173 dan QS.16:115 yang menyatakan, antara lain, keharaman darah. Kendati keharamannya sudah demikian tegas, namun masih saja ada yang memperjualbelikan dan mengkonsumsinya.
Sebuah rumah potong hewan (RPH) di kawasan Bekasi, penampilannya cukup mengesankan. Kebersihan ruangan potongnya lumayan, meski gedungnya sudah agak tua. Pemotongnya seorang Muslim, tahu syarat-syarat penyembelihan menurut Islam, dan katanya taat beribadah. Proses pemotongannya juga berjalan sesuai syariat Islam menghadap kiblat, membaca basmalah, menggunakan pisau tajam, dan terputus saluran nafas, kerongkongan dan urat nadi hewan sembelihannya.
Tepai hasil diskusi dengan para jagalnya terungkap kenyataan bahwa darah yang keluar dari PRH tersebut sengaja ditampung untuk dijual. Tidak dijelaskan lebih rinci kemana dan untuk apa darah tersebut. Yang jelas ada orang datang dan membelinya. Mereka juga mengangkut barang itu sendiri. Bagi perusahaan barangkali bukan nilai nominal hasil penjualannya yang menggiurkan. Akan tetapi, darah adalah limbah yang sering menimbulkan keresahan penduduk di sekitar pabrik sehingga menjadi keluhan terhadap limbah tersebut. Sementara kalau harus menghancurkannya perusahaan butuh biaya yang tidak sedikit.
Maka ketika datang orang untuk mengambilnya bahkan membeli, pengusaha RPH itu tentunya sangat beruntung sekali. Secara sepihak kehadiran pembeli darah itu memang mendatangkan banyak keuntungan. Dengan demikian pemilik RPH tidak lagi dipusingkan masalah limbah dan biaya penanganannya. Akan tetapi jika dipikirkan secara seksama, penjualan itu dapat menimbulkan dampak luas.
Kalau darah itu kemudian diolah menjadi marus/dede dan dikonsumsi manusia, maka akan menjadi barang haram. Dalil pengharaman darah sudah sangat tegas. Karena itu, orang Islam dilarang keras makan darah binatang sama seperti status pelarangan babi. Orang yang menjual dan memakan keuntungannya pun ikut terkena dampak keharamannya, meski tidak secara langsung mengkonsumsi darah.
Bila darah itu kemudian diolah menjadi marus dan dijual sebagai bahan makanan, maka RPH tersebut secara tidak langsung telah memproduksi barang haram yang kemudian disebarluaskan di tengah masyarakat. Atau berarti pengusaha RPH itu telah menjual barang haram, disampin dagingnya halal. Maka uang yang diterimanya pun menjadi haram. Sangat disayangkan bersusah payah memproduksi daging halal, jika darahnya tetap dijual sebagai bahan makanan.
Oleh karena itu, sebaikanya memang pembuangan darah menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam menentukan kehalalan pemotongan hewan di RPH. Jika darah tersebut masih dijual sembarangan tanpa diketahui penggunaannya, maka sertifikasi dan labelisasi halal untuk RPH itu sebaiknya ditangguhkan saja.
Dalam kenyatannya banyak kalangan yang masih mempercayai kalau darah memiliki banyak khasiat untuk tubuh. Secara teoritis darah memang banyak mengandung protein, vitamin, dan berbagai asam amino. Akan tetapi secara ilmiah diketahui bahwa berbagai penyakit dan racun bersarang di dalam cairan berwarna merah itu. Di negara-negara maju darah sudah tidak digunakan lagi, kecuali untuk kegunaan non pangan.
Konsekuensi yang ditanggung pihak RPH memang tidak ringan dengan mengolah darah itu. Perusahaan harus mengeluarkan biaya dan tenaga untuk menangani limbah tersebut, supaya yakin tidak dijual lagi sebagai marus. Tetapi itulah harga yang harus dibayar demi kehalalan yang sebenarnya.
Oleh: Prof.Dr. Aisjah Girindra